1. Pengertian Konflik
Konflik secara umum memang sering terjadi di dalam masyarakat sebagai gejala sosial yang alami. Menurut Soerjono Soekanto (1981:114), konflik adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuan dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Konflik selama ini banyak dipersamakan dengan kekerasan. Namun sesungguhnya konflik berbeda dengan kekerasan. Kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau juga menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Konflik dapat berubah menjadi kekerasan apabila upaya-upaya yang berkaitan dengan tuntutan maka akan timbul gerakan yang mengarah pada kekerasan. Ini yang sering terjadi di Indonesia. Berbagai konflik yang pernah terjadi di Indonesia mengarah pada satu bentuk kekerasan yang mengakibatkan banyak kerugian baik material maupun immaterial.
Menurut Robert Lawang (1985:106), konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, dimana tujuan dari mereka yang berkonflik tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan saingannya. Konflik sosial merupakan proses sosial antar perorangan atau kelompok suatu masyarakat tertentu, akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar sehingga menimbulkan adanya semacam gap atau jurang pemisah yang mengganjal interaksi sosial diantara pihak yang bertikai.
Tokoh lainnya, Berstein (1965), konflik merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik mempunyai potensi yang memberikan pengaruh positif (+) dan ada pula yang negatif (–) di dalam interaksi manusia.
2. Faktor Penyebab Konflik
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh heterogenitas etnik dan bersifat unik. Secara horizontal ditandai oleh kenyataan adanya kesatuankesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya lapisan atas dan lapisan bawah. Sejarah telah membuktikan bahwa sejak kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI selalu dirongrong oleh gerakan sparatisme. Misalnya, gerakan separatis DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, Permesta Kahar Muzakar di Sumatera, APRA, PKI, DI/TII Daud Barureh di Aceh, dan RMS di Maluku yang menyisakan banyak penderitaan dan korban. Pada saat sekarang gerakan separatis masih terus berlangsung seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Menurut Cliffrod Gertz, apabila bangsa Indonesia tidak pandai-pandai memanajemen keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil. Bila ketidakpuasan ekonomi, kelas, atau intelektual menjurus pada revolusi yang mendorong pergantian tatanan ekonomi dan politik negara-bangsa, tetapi ketidakpuasan yang didasarkan ikatan primordial menjurus pada disintegrasi bangsa. Perpecahan dalam masyarakat majemuk korbannya bukan individu, kelompok, atau kelas tertentu, tapi negara-bangsa itu sendiri yang akan tercerai berai.
Hal ini ditambah dengan pandangan yang menimbulkan watak etnosentrisme dan primordialisme sempit. Etnosentrisme adalah suatu pandangan yang melekat pada diri seseorang (masyarakat) yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, selalu diukur dengan nilai kebudayaannya. Sedangkan primordialisme adalah pemikiran yang mengutamakan atau menempatkan pada tempat yang pertama kepentingan suatu kelompok atau komunitas masyarakat.
Selain itu terjadinya Etnopolitic Conflict dalam dua dimensi yaitu dimensi pertama adalah konflik di dalam tingkatan ideologis, konflik ini terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh etnik pendukungnya serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Dimensi kedua adalah konflik yang terjadi dalam tingkatan politis, pada konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan, dan sumber ekonomi yang terbatas dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (1996:98), sebab terjadinya konflik ada tiga. Pertama, perbedaan antarindividu, karena perasaan, pendirian, pendapat. Kedua, bentrokan kepentingan baik ekonomi maupun politik. Ketiga, perubahan sosial dalam masyarakat dapat mengubah nilai sosial sehingga menimbulkan perbedaan pendirian. Adanya perbedaan kepribadian yang ada di dalam masyarakat karena adanya perbedaan latar belakang kebudayaan, agama, dan bahasa. Selain itu dengan perubahan sosial yang semakin cepat mengakibatkan perubahan sistem nilai yang ada di dalam masyarakat sehinga hal ini mengakibatkan konflik.
Berbagai dampak dari adanya konflik sosial yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat bervariasi dan tidak selamanya bersifat negatif. Adapun dampak konflik sosial adalah:
a. Tambahnya rasa solidaritas dalam kelompok.
b. Berubahnya sikap atau kepribadian baik yang mengarah kepada halhal yang bersifat negatif maupun positif.
c. Terjadinya perubahan sosial yang mengancam keutuhan kelompok.
d. Jatuhnya korban manusia, rusak dan hilangnya harta benda jika terjadi benturan fisik.
e. Munculnya dominasi kelompok yang menang terhadap kelompok yang kalah.
f. Munculnya kompromi baru apabila pihak yang bertikai mempunyai kekuatan yang seimbang.
Menurut Dahrendorf (Ritzer, 2000:153), masyarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan consensus. Teori konflik menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan tersebut. Teori consensus menguji integrasi dalam masyarakat. Artinya masyarakat tak kan ada tanpa consensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain.
3. Pengendalian Konflik
Konflik tidak akan terjadi apabila masyarakat dapat dikendalikan dengan baik, sehingga kerugian akibat dari konflik dapat ditekan sedemikian rupa. Ada tiga macam bentuk pengendalian konflik sosial, yaitu:
a. Konsiliasi
Merupakan bentuk pengendalian konflik sosial yang utama. Pengendalian ini terwujud melalui lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan. Pada umumnya, bentuk konsiliasi terjadi pada masyarakat politik. Lembaga parlementer yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok kepentingan akan menimbulkan pertentangan-pertentangan. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, biasanya lembaga ini melakukan pertemuan untuk jalan damai.
Untuk dapat berfungi dengan baik dalam melakukan konsiliasi, maka ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu:
1) Lembaga tersebut merupakan lembaga yang bersifat otonom.
2) Kebudayaan lembaga tersebut harus bersifat monopolitis.
3) Peran lembaga tersebut harus mengikat kepentingan semua kelompok.
4) Peran lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
b. Mediasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara membuat konsensus di antara dua pihak yang bertikai untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Pengendalian ini sangat berjalan efektif dan mampu menjadi pengendalian konflik yang selalu digunakan oleh masyarakat. Misalnya pada konflik berbau sara di Poso, dimana pemerintah menjadi mediator menyelesaikan konflik tersebut tanpa memihak satu sama lainnya.
c. Arbitrasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa hadirnya pihak ketiga yang memberikan keputusan untuk menyelesaikan konflik. Ketiga jenis pengendalian konflik ini memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya ledakan sosial dalam masyarakat. Untuk mengingatkan kalian kembali mengenai pembahasan tentang konflik sosial, coba kerjakanlah kegiatan berikut ini.
Sumber :
Budiati, Atik Catur, 2009, Sosiologi : Kontextual untuk SMA & MA Kelas XI, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 21 – 24.
Komentar